BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Ilmu
islam sudah sangat lama berkembang, namun karena runtuhnya kekuasaan islam pada
masa lampau, telah juga menghilangkan praktik – praktik tentang ekonomi islam
yang baik dan benar di dalam masyarakat. Sehingga yang berkembang yakni paham –
paham yang berasal dari bangsa Barat yang bersifat liberalis dan materialistis.
Ilmu
ekonomi islam muncul kembali pada abad ke-20 dengan munculnya bank bagi hasil.
Praktik ekonomi islam resmi disahkan pada Organisasi Konferensi Islam (OKI)
yang berlangsung di Jedah 1976.
Berbagai krisis ekonomi yang telah melanda dunia saat ini, para ahli berupaya
mencari alternatif pemecahan masalah menggunakan ilmu ekonomi islam. Ilmu islam
pada dasarnya bersifat adil dan tidak memihak sebelah pihak, dan oleh sebab itu
kebanyakan orang – orang ataupun lembaga – lembaga yang memakai ilmu ekonomi
islam tidak merasa dirugikan. Untuk itu sebaiknya dalam menjalankan suatu
lembaga keuangan lebih baik kita menggunakan ilmu ekonomi islam.
Makalah
ini berisi tentang definisi dari transaksi atau akad yang ada di dalam ilmu
syariah, sumber hukum dari transaksi atau akad, hubungan antara
transaksi (muamalah), syariah, fiqh, iman, ibadah, dan akhlak, rationable transaksi
dalam Islam, transaksi dan kontrak, rukun-rukun dan syarat-syarat kontrak, serta
unsur At-Taradin (Suka Sama Suka) dalam kontrak.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaiman pengertian dari transaksi atau akad dalam ilmu
syariah?
2.
Apa saja sumber-sumber hukum dari transaksi atau akad
dalam syariah?
3.
Apa hubungan antara transaksi (muamalah), syariah,
fiqh, iman, ibadah, dan akhlak?
4.
Bagaimana rationable transaksi dalam islam?
5.
Bagaimana rukun-rukun dan syarat-syarat kontrak?
6.
Apa yang dimaksud unsur At-Taridin (Suka Sama Suka)
dalam kontrak?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Untuk menjelaskan pengertian dari transaksi atau akad
dalam ilmu syariah.
2.
Untuk menjelaskan apa saja sumber-sumber hukum dari
transaksi atau akad dalam syariah.
3.
Untuk menjelaskan hubungan dari transaksi (muamalah),
syariah, fiqh, iman, ibadah, dan akhlak.
4.
Untuk menjelaskan apa itu rationable transaksi dalam
syariah.
5.
Untuk menjelaskan rukun-rukun dan syarat-syarat dalam
kontrak.
6.
Untuk menjelaskan apa yang dimaksud unsur At-Taridin
(Suka Sama Suka) dalam kontrak.
1.4 Metode
Penulisan
Dalam penulisan makalah ini
metode yang digunakan adalah metode kepustakaan, yaitu dalam pengumpulan datanya,
penyusun mendapatkan melalui
referensi dari buku-buku yang
berhubungan dengan materi ini.
BAB II
TRANSAKSI ATAU AKAD DALAM SYARIAH
2.1
Pengertian
Transaksi
Transaksi berasal dari bahasa inggris “transaction”
dan dalam bahasa Arab sering disebut sebagai al-mu’amalat. Ilmu fiqh yang mempelajari al-mu’amalat disebut fiqh al-mu’amalat. fiqh al-mu’amalat, dalam salah satu pengertiannya mencakup bidang
yang sangat luas, yaitu mencakup hukum tentang kontrak, sanksi, kejahatan,
jaminan, dan hukum-hukum lain yang bertujuan hubungan-hubungan sesama manusia,
baik perseorangan maupun kelompok.
Pengertian fiqh
al-mu’amalat yang lebih sempit dikemukakan oleh Mustafa Ahmad Al-Zarqa,
yaitu hukum tentang perbuatan dan hubungan sesama manusia mengenai harta
kekayaan, hak-hak, dan penyelesaian sengketa tentang hal-hal tersebut.
Pengertian yang lebih teknis dikemukakan Mohammad Ma’sum Billah, yaitu bentuk
kesepakatan menguntungkan yang terjadi antara manusia untuk memenuhi segala
kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya dalam urusan yang berkaitan dengan
perdagangan dan perniagaan.
Dari berbagai keterangan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa fiqh al-mu’amalat adalah fiqh
yang memfokuskan pada hukum-hukum tentang perbuatan dan hubungan sesama manusia
mengenai harta kekayaan, hak, dan penyelesaian sengketa tentang hal-hal
tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan berpandukan
syariah.
2.2
Sumber Hukum Transaksi atau Akad
Sumber hukum transaksi dalam islam adalah Al-Quran,
As-Sunnah, ijtihad (termasuk didalamnya menggunakan instrument ijma, qiyas al-maslahah al-mursalah, urf,
istishab, sad ad-dhari’ah, dan lain-lain yang diakui sebagai instrument
ijtihad). Disamping itu, terdapat lega maxim (kaidah fiqhiyyah) yang merupakan
prinsip umum yang bias dijadikan panduan umum dalam pembangunan hukum islam,
terutama apabila dapat masalah baru yang memerlukan keputusan hukum secara
tepat.
2.2.1
Al-Quran
Al-Quran menggariskan bahwa sebuah transaksi
hanya sah apabila setiap pihak yang terlibat dalam transaksi memenuhi kewajiban
yang berkaitan dengan konsekuensi sebuah transaksi. Misalnya dalam transaksi
yang berbentuk akad jual beli, seorang pembeli harus membayar sejumlah harga
yang disepakati, sementara penjual harus menyerahkan barang yang dijualnya
kepada pembeli.
2.2.2
As-Sunnah
Petunjuk yang sangat gambling disampaikan
Rasulullah SAW tentang hal-hal yang diperbolehkan dan hal-hal yang dilarang
melalui hadis.
2.2.3 Kaidah Fiqhiyah (fiqh legal maxim)
Para ulama setelah memahami falsafah yang mendasari hukum islam,
merumuskan kaidah dasar dalam bidang muamalah, yaitu: “Hukum asal mu’amalah adalah bahwa segala sesuatunya diperbolehkan,
kecuali ada dalil yang melarangnya”. Ini berbeda dengan kaidah dasar dalam
hal ibadah. Pada dasarnya, kebutuhan dasar manusia dalam hal hubungannya dengan
Tuhan (Allah SWT) tidak mengalami perubahan sejak zaman Nabi hingga akhir zaman.
Dengan kata lain, kemajuan teknologi dan informasi tidak menjadikan perubahan
dalam ibadah. Dalam hal ibadah, para ulama merumuskan hukum dasarnya: “Hukum asal ibadah adalah bahwa sesuatunya
dilarang dikerjakan, kecuali ada petunjuknya dari Al-Quran dan As-Sunnah”.
Dalam hal muamalah, bisa jadi
situasi dan kebiasaan yang ada. Tiap-tiap wilayah itu berbeda-beda. Selama
kebiasaan dalam bertransaksi itu masih sesuai dengan spirit syariah islam,
tidak ada dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah yang menunjukkan keharamannya,
kebiasaan (adat) tersebut bias diakui dan diterima oleh islam. Dalam hal ini
para ulama merumuskan kaidah: “Adat
(kebiasaan yang dipraktikkan ) adalah menjadi dasar hukum”.
Para pihak yang bertransaksi
harus senantiasa menjaga agar transaksi yang dilakukan tidak menimbulkan
mudarat bagi dirinya ataupun orang lain. Sebagaimana kaidah: “Tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan”.
2.3
Hubungan antara Transaksi
(Muamalah), Syariah, Fiqh, Iman, Ibadah, dan Akhlak
Transaksi merupakan perbuatan
dan hubungan sesama manusia mengenai harta kekayaan, hak, dan penyelesaian sengketa tentang hal-hal tersebut dalam
rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan berpandukan syariat.
Syariat adalah satu-satunya way of life yang
harus dipercaya oleh seorang mukmin yang dapat mengantarkannya mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Fiqh berarti paham, baik secara
mendalam maupun dangkal. Fiqh muamalah adalah peraturan islam yang berkaitan
dengan hukum-hukum perniagaan, dan menjadi frame
work yang sah untuk ekonomi islam. Hubungan antara fiqh muamalah dan
ekonomi islam itu seperti kajian tata bahasa dengan kemahiran penggunaan
bahasa. Kegiatan ekonomi islam itu hendak dikawal dan dipandu oleh fiqh
muamalah.
Adapun
iman, berarti percaya. Orang yang beriman dalam menjalani kehidupan harus
berpandu pada syariat. Iman dan syariat merupakan dua elemen yang saling
melengkapi dan saling mendukung dalam membentuk pribadi muslim sejati. Ibadah
berarti pengabdian atau penghambaan diri kepada Allah. Akhlak sering
diterjemahkan ethic (etika), yaitu pedoman moral dan perilaku. Dengan demikian,
akhlak tidak bias dipisahkan dari iman, ibadah, syariat, dan muamalah.
2.4 Rationable Transaksi dalam Islam
Manusia hanya diberi
kemampuan mengira-ngira dan tujuan di balik penetapan hukum-hukum transaksi,
yaitu:
1.
Meningkatkan kedudukan manusia
pada posisi yang terhormat sesuai dengan statusnya sebagai makhluk termulia (asyraf al-makhluqat) karena keimanan dan
kedisiplinannya.
2.
Mendorong manusia agar terlibat
secara aktif dalam bertransaksi perdagangan, yang menjadikan mereka mandiri
secara financial dan percaya diri.
3.
Menghindari kesalahpahaman
antarpihak yang bertransaksi.
4.
Menjaga keadilan dan kejujuran
dalam perdagangan dan perniagaan.
5.
Memelihara spirit legalistas
dengan menghindari terwujudnya kesepakatan terhadap sesuatu yang diharamkan
dalam bertransaksi apa saja.
6.
Memberikan jaminan pelaksanaan
terhadap konsekuensi yang timbul dari berbagai konrak ataupun transaksi yang
didalamnya disepakati adanya syarat-syarat tertentu.
7.
Memastikan dan mengukuhkan hak dan
kewajiban setiap pihak yang terlibat dalam transaksi.
8.
Mengukuhkan semangat persaudaraan
sebagai tujuan utama bertransaksi.
9.
Memastikan adanya keamanan dan
perdamaian pada masyarakat.
2.5 Transaksi dan kontrak
Kontrak merupakan pertalian
antara dua pihak yang timbul karena kesesuaian kehendak keduanya. Ijab dan
qabul yang dilakukan oleh setiap pihak yang berkontrak merupakan wujud dari
kesesuaian kehendak antara keduanya. Terjadinya ijab dan qabul memengaruhi
status objek kontrak. Setiap transaksi yang terjadi antara pihak, selalu
melibatkan kontrak antara keduanya. Walaupun perbedaan antara keduanya bias
dijelaskan, tetapi hakikatnya, kedua-duanya senantiasa tidak bisa
dipisahkan-pisahkan. Sebuah transaksi akan menjadi sah apabila syarat dan rukun
kontrak telah dipenuhi oleh para pihak.
2.6 Rukun-rukun dan Syarat-syarat Kontrak
Adapun rukun dan syarat kontrak
adalah sebagai berikut:
1.
Sighat kontrak yang terdiri atas
ijab dan qabul(sighah). Ijab merupakan pernyataan penawaran atau proporsional
positif, sementara qabul adalah penerimaan atau pernyataan persetujuan.
2.
Pihak-pihak yang melakukan
kontrak, yaitu mereka yang membuat ijab dan qabul.
3.
Harga (al-thaman). Harga di
isyaratkan disebut sewaktu berlangsungnya akad dan harus dijelaskan dalam
bentuk jenis mata uang atau nilai yang menjadi persetujuan bersama.
2.7 Unsur At-Taradin (Suka Sama Suka) dalam
Kontrak
At-Taradin (Suka Sama Suka) dalam
kontrak merupakan persyaratan yang paling mendasar dalam semua kontrak komersial
dalam hukum islam. Dalam kontrak, tidak selalu di isyaratkan bahwa kedua barang
yang dikontrakkan itu mempunyai nilai yang sama, tetapi yang utama di
isyaratkan adalah adanya unsur suka sama suka (saling rida). Untuk itu setiap
pihak harus mempunyai informasi yang complete sehingga tidak ada pihak yang
merasa dicurangi atau ditipu karena adanya suatu yang tidak diketahui.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Transaksi berasal dari bahasa inggris “transaction”
dan dalam bahasa Arab sering disebut sebagai al-mu’amalat. Ilmu fiqh yang mempelajari al-mu’amalat disebut fiqh al-mu’amalat. fiqh al-mu’amalat adalah fiqh yang
memfokuskan pada hukum-hukum tentang perbuatan dan hubungan sesame manusia
mengenai harta kekayaan, hak, dan penyelesaian sengketa tentang hal-hal
tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka dengan berpandukan
syariah.
2.
Sumber
hukum transaksi dalam islam adalah Al-Quran, As-Sunnah, ijtihad (termasuk
didalamnya menggunakan instrument ijma,
qiyas al-maslahah al-mursalah, urf, istishab, sad ad-dhari’ah, dan
lain-lain yang diakui sebagai instrument ijtihad).
3.
tujuan di balik penetapan hukum-hukum transaksi, yaitu:
·
Meningkatkan kedudukan manusia
pada posisi yang terhormat sesuai dengan statusnya sebagai makhluk termulia (asyraf al-makhluqat) karena keimanan dan
kedisiplinannya.
·
Mendorong manusia agar
terlibat secara aktif dalam bertransaksi perdagangan, yang menjadikan mereka
mandiri secara financial dan percaya diri.
·
Menghindari kesalahpahaman
antarpihak yang bertransaksi.
·
Menjaga keadilan dan
kejujuran dalam perdagangan dan perniagaan.
·
Memelihara spirit
legalistas dengan menghindari terwujudnya kesepakatan terhadap sesuatu yang
diharamkan dalam bertransaksi apa saja.
·
Memberikan jaminan
pelaksanaan terhadap konsekuensi yang timbul dari berbagai konrak ataupun
transaksi yang didalamnya disepakati adanya syarat-syarat tertentu.
·
Memastikan dan mengukuhkan
hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat dalam transaksi.
·
Mengukuhkan semangat
persaudaraan sebagai tujuan utama bertransaksi.
·
Memastikan adanya keamanan
dan perdamaian pada masyarakat.
4.
rukun dan syarat kontrak adalah sebagai berikut:
·
Sighat kontrak yang terdiri
atas ijab dan qabul(sighah).
·
Pihak-pihak yang melakukan
kontrak
·
Harga (al-thaman).
3.2 Saran
Ilmu
islam pada dasarnya bersifat adil dan tidak memihak sebelah pihak, dan oleh
sebab itu kebanyakan orang – orang ataupun lembaga – lembaga yang memakai ilmu
ekonomi islam tidak merasa dirugikan. Untuk itu sebaiknya dalam menjalankan
suatu lembaga keuangan lebih baik kita menggunakan ilmu ekonomi islam.
DAFTAR PUSTAKA
Juhaya S. Pradja. (2012). Ekonomi
Syariah. Bandung: Pustaka Setia.